Senin, 23 September 2019

Bapakku, Komarudin

Halo,saya Rilian Olivia. Blog ini saya buat dalam keadaan ingin bercerita tentang situasi tersulit yang pernah saya hadapi. Cerita ini saya buat untuk diri saya sendiri yang mungkin akan dibaca oleh kalian yang belum pernah dan mungkin akan mengalami ini. Untuk permakluman jika ada kesalahan tulisan dan bahasa yang masih kurang. Terimakasih dan selamat membaca :)

Bapakku, Komarudin

Desember 2018, aku pulang kerumah dengan sangat antusias karena libur semester telah tiba. Dua minggu dirumah membuatku merasa tidak pernah cukup dan memang libur sebulanpun tidak akan pernah cukup. Ingat? Harta yang paling berharga adalah keluarga.
Waktu itu, aku dirumah. Namun, waktuku dengan keluarga tidak begitu kuberikan dengan maksimal. Aku menolak ajakan bapak untuk pergi menemaninya ke suatu pabrik perusahaan karena sakit perut, sekeluarku dari kamar kecil tidak kulihat lagi mobil open cup L300 bapakku. Menandakan bapakku telah pergi. “Mak, bapak udah pergi?.” “Iya, baru berangkat” “Sama siapa?” Tanyaku dengan santai. “Sendiri.” Jawab mamaku.
Sebenarnya hari itu aku merasa bahwa, seharusnya aku menemani bapak, bukan malah tidak ikut hanya karena Sakit Perut On Periode-ku. Ah cupunya memang aku. Dan selama berjam-jam, itu menjadi bayanganku karena menolak ajakan bapak. Inilah kali pertama aku menolak ajakan bapak untuk pergi mendampinginya.
Allahu Akbar Allahu Akbar. Panggilan Shalat Magrib sudah terdengar, bapak belum juga pulang. Kunanti dengan penuh kekhawatiran. Sebenarnya tidak perlu khawatir. Karena Bapakku, Komarudin adalah seorang bapak dari dua anak perempuan yang umurnya masih relatif-tidak-tua dengan umur 50th, rambutnya masih hitam walau mungkin putih rambutnya sebagian sudah tidak bisa terhindar, vegetarian, olahraga selalu. Aku tidak tahu, apa yang membuatku khawatir terhadap bapak.
Beberapa jam kemudian, kudengar suara mobil dari jauh. Klakson mobil L300 sebanyak dua kali dan suara gemuruh gerbang yang terbuka lebar. Akhirnya, bapak pulang, hatiku benar-benar lega. Setiap aku mengetahui bahwa bapakku pulang, aku selalu datang kedepan berlari hingga didepan teras, hanya untuk melihat wajahnya. Setelah itu, aku masuk kekamar dan menyerahkan seluruh tubuhku pada kasur, tanganku kupasrahkan jatuh cinta pada handphone-ku.
Dua minggu berlalu, semua terasa begitu cepat. Bapak, Mamak, Adik dan Mbahku mengantarku ke Bandara. Hari itu, hari terberat yang pernah kurasakan saat turun di drop zone bandara Lombok International Airport. Aku bersalaman dengan mereka. Sembari membaca “Allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammad” mereka membalas “wa ‘ala ali sayyidina muhammad”.
Setelah itu, aku sampai di Bandara Soekarno Hatta. Berarti, aku telah jauh dari keluarga, aku harus kuliah, aku harus menjalankan semester 5 ini.
Aku sangat dekat dengan bapak. Namun, semeter 5 ini membuatku lebih dekat karena salah satu mata kuliahku yang bernama “Practices of Retail Buying“ menuntutku untuk menciptakan sebuah layout toko dengan modal yang kita tentukan dan product yang kita tentukan hingga sampai pada berapa keuntungan yang akan kita dapatkan. Disitu, aku menggunakan usaha bapak. Project itu sebanyak 4 project. Project yang telah berjalan sebanyak 2 hingga bagian project terakhir harus ku selesaikan dengan cepat. Project ke 3 aku mendapatkan keuntungan, aku menghubungi bapak “Halo, Assalamualaikum. Pak! Ool dapet keuntungan! Jadi ndak perlu ngulang lagi projectnyaaa iii seneng.” “Alhamdulillah, pinter anak bapak.”
Merasa terlalu lelah mengerjakan project, aku pergi bersama salah satu sahabatku diuniversitas, mengapresiasi diri atas kelelahan perkuliahan. Berkeliling mall dan membeli es krim. Sepulang dari rumah, kulihat whatsappku. Ayahku menelfonku beberapa kali. “Pak ool baru plg jalan-jalan dan abis ketempat elsha.” “Ya udah, istirahat udah malem ool bobok.” “Oke pak.”
Memang. Aku selalu melapor segala kegiatanku ke bapak, bapak juga selalu mencariku. Maklum. Anak cewek dan kesayang hehe. Setiap hari aku dan bapak berkabar, mengobrol melalui whatsapp, telfon dan video call. Aku selalu menceritakan beliau pengalamanku, begitupun beliau.
Lelah juga ya bermalas-malasan dan tidak melanjutkan project-ku. Maksudku, aku lelah terbebani oleh project yang tak kunjung kuselesaikan. Akhirnya, aku memutuskan untuk memulainya lagi. Kali ini, aku harus menelfon bapak lagi. Anehnya, hari itu bapak tidak mengangkat. Bukan hanya bapak. Mamak, Tara (adikku) tidak ada yang mengangkat telfon. Kekhawatiranku kembali terjadi. Sampai aku sendiri bingung. Sebenarnya apa yang aku khawatirkan? kuputuskan untuk menghubungi tetangga didepan rumahku dan disamping rumahku. Tak lama, aku menerima pesan balasan dari tetanggaku “Kak ool, katanya Tara wifi dirumah emang lagi error.” Syukurlah. Aku begitu lega mendengarnya. Hari berganti hari, kekhawatiran itu hilang, tiga minggu sudah kulalui bulan Januari dikampusku. Memasuki awal bulan Februari. Bulan kelahiranku.
Rabu, 6 Februari 2019. Pagi sekitar 10.30 temanku mengajakku untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Ku iyakan. Setibanya di perpustakaan kami membicarakan project individual itu, sudah beberapa lama, aku sadar telfon genggamku tak pernah aku periksa. Ketika aku periksa, benar saja. Bapak menelfon. Aku katakan “pak Ool lagi diperpus ngerjain tugas.” Bapak hanya membaca pesanku. Mungkin dia sudah berangkat bekerja dengan mobil tempurnya. Ya L300 pick up itu hehe.
Malamnya, aku tidak tahan tidak berbicara dengan bapak. Kuputuskan untuk menelfon. Setelah kulihat jam menunjukan pukul 23.00. Di Lombok sudah pasti pukul 24.00. Sudah malam. Bapak pasti sudah tidur dan beristirahat. Aku putuskan untuk menelfonnya besok pagi.
Keesokan harinya, aku telah menetapkan keputusanku untuk menelfon bapak. Aku lupa bahwa aku ada kelas sampai siang, terlalu lelah aku tidur siang sampai sore. Waktu menunjukkan pukul 19.00. Dua temanku telah menagih janji untuk belajar ditempatku. Biasanya mengerjakan project individual ini kami kerjakan bersama dikos temanku. Namun, dia sedang tidak bisa. Jadi beralihlah kekosku. Mereka pun datang. Lagi dan lagi aku menunda untuk menelfon bapak. “Ah nanti saja setelah mereka selesai.” . Mereka pulang tepat jam 12.00 malam. Kali ini, keputusanku mutlak untuk menebus rinduku pada Bapakku, Komarudin. Namun, kembali lagi. Aku takut mengganggunya. Akhirnya sebelum menelfon. Aku mengirimkan bapak pesan melalui whatsapp “Bapak.” panggilku. Centang satu. Menandakan bapak sudah tidur dan aku tidak akan tega membangunkannya hanya karena keegoisanku untuk menebus rindu ini. “Yasudah besok pagi saja, besok kan Jum’at bapak bekerja tidak akan lama” pikirku. Pukul 12.30 malam aku tidur. Sembari menunggu hari esok. Wifi di hapeku aku non-aktifkan, aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba inginn menonaktifkan wifi dihapeku. Padahal selama setahun menggunakan wifi tak pernah kumatikan sekalipun wifinya.
8 Februari 2019. Alarm pukul 04.40 berdering. Hari Jumat datang. Aku harus bangun untuk sholat subuh. Setelah sholat kubangunkan dua roommateku agar segera sholat subuh juga. Kebiasaan bodohku adalah aku selalu tidur lagi setelah sholat subuh. Didalam tidur setelah subuhku itu, aku mendengar ada yang memberitahukuh bahwa salah satu keluargaku meninggal. Dan itu. Ibuku. Sontak, aku kaget bangun dan langsung mengecek handphoneku. Kulihat layar tak ada pemberitahuan apapun karena wifi ku mati. Setelah kunyalakan, adikku menelfon beberapa kali melalui WhatsApp dan mengirimkanku pesan. “Yuk. Bapak opname”
Aku kaget aku gemetar dan langsung kuhubungi kembali adikku. “Halo. Tara bapak kenapa?!!!.” Tangisku tak bisa tertahan. Ini kali pertama aku tahu bapakku masuk rumah sakit dan opname. Karena bapakku, Komarudin yang ku tahu adalah orang yang sehat, jauh dari segala pengawet makanan, pewarna dan gaya hidup tidak sehat lagi. Bahkan, bapak tidak merokok, ngopi dan ngeteh. “Hallo sayang, ol. Nak pulang nak” suara itu lembut terdengar. Bukan dari mamakku. Aku tahu, itu suara uakku. “Mana sini dosennya biar uak izinkan sama dosennya.” Aku kaget. Separah apa bapak sampai aku harus pulang. Aku semakin menangis terisak isak. “Bapak sakit apa uak? Sakit apa?” “Sakit perut sayang.” Lalu aku tak berpikir kenapa sakit perut dan diopname harus menyuruhku pulang. Dengan tangisan itu, aku tidak bisa memungkiri bahwa jika aku pulang. Bagaimana dengan nilaiku? Projectku?. “Terus ool pulang hari apa nanti?” Uakku mungkin geram “ya pulang aja dulu nanti itu bisa senin atau kapan yang penting pulang dulu.” “Iya wak, ool cari tiket dulu.” “Ada uang buat beli tiket?” “Di ATM masih ada wak.” Aku memilih tiket sambil terisak-isak.
Tak lama dari percakapan dengan uak, teman-temanku di WhatsApp dan Instagram mengirimiku pesan dengan jenis pertanyaan “Oliv. Baik-baik aja kan?.” “Oliv sedang berada dimana?.” Aku bingung mengapa banyak yang mengirimkanku pesan seperti itu. Aku balas “iya, baik-baik aja.” “Ini lagi packing balik lombok. Bapak sakit disuruh pulang.”Aku memberitahu mereka, tapi justru aku yang merasa mereka lah yang memberitahuku hal yang sebenarnya terjadi. Pagi itu, aku dikeluarkan dari group-group whatsapp, mungkin mereka takut aku tahu hal yang sebenarnya dan dalam keadaan yang tidak siap.
Mereka membuatku semakin yakin bahwa hal yang aku takutkan terjadi. Aku menelfon orang rumah. Sepertinya mereka semua sibuk hingga tidak ada yang mengangkat. Beberapa saat kemudian mamak menelfonku kembali. Aku mengangkat sambil menangis “mak, bapak kenapa? Kasi tau yang sebenernya jangan sampe ool tau dari orang lain.” Dengan pertanyaan seperti itu sebenarnya sudah menyatakan keyakinanku bahwa semua tidak baik-baik saja.
Aku berangkat menuju bandara Soekarno Hatta untuk menjenguk bapakku. Rasanya, seperti aku telah kehilangan bapak. Menangis disepanjang perjalanan didalam bus, ingin segera mendarat, ingin dirumah dengan segera.
Aku pulang, aku pulang. Membuka pintu mobil itu, didepanku tepat ada terop dan sebuah tanda meninggalnya seseorang. Bapakku, Komarudin. Aku pulang untuk melihat bapak pulang. Ketempat Allah SWT. Aku melangkahkan kakiku masuk, mereka yang ada dirumah melihatku. Mata mereka mengikuti langkahku. Aku masuk. Diruangan itu, ada satu tubuh yang sudah dibungkus kafan dan ditutupi kain.
Melihatnya disitu, seperti aku kehilangan diriku. Diriku yang memiliki wajah seperti beliau, diriku yang memiliki sifat seperti beliau, diriku yang selalu ditunggu beliau dan dinanti beliau. Aku menangis, membuka kain yang menutupi wajahnya. Senyum terakhir yang terindah yang pernah kulihat selama hidupku. Senyum terindah yang bapak berikan padaku ternyata terletak pada saat beliau meninggal.
Inilah hadiah dari Allah SWT dibulan kelahiranku.
Sebelum kembali kerumah.
Percakapan terakhir ditelfon tadi : “Tapi ool harus kuat ya.” Aku berhenti bertanya pada mamak. Sudah kutangkap klarifikasi yang sebenarnya.
Aku ingat, ternyata seminggu setelah aku kembali berkuliah aku pernah bilang ke Elsha , “Sha, hal yang paling ga siap gua hadepin adalah ketika orang tua gua meninggal.” “Sama, lip” kata elsha menatapku dengan tatapan yang meyakinkan bahwa pikiran kita sama. “Gua takut sha orang tua gua meninggal, sedangkan kita belum sukses dan ngebahagiain mereka.”
Bapak selalu mengecek hapenya selepas kerja dan melihat whatsapp . “Mana, Si (nama Ibuku) hape nanti ool telfon.” Itu yang diucapkan bapak sehari sebelum kepulangannya kerumah Allah. Sebelum bapak meninggal, sebenarnya tanda-tanda sudah didengar oleh tetangga dan uakku. Namun, kami benar-benar gak ngeh akan hal itu. Ternyata tanda-tanda itu benar adanya. Aku mempercayai firasat batin yang telah Allah berikan. Aku mempercayai bahwa Allah memberikan kabar pada saat aku tidur itu.
Dan, kini. Aku menyesal tidak menemani bapak ke pabrik, tidak menghabiskan waktu semaksimal mungkin, tidak langsung menelfonnya pada saat diperpustakaan, tidak meladeni bapak mengobrol denganku sepulang jalan-jalan, tidak menelfonnya pada malam itu, Jumat itu.
Ohiya, satu lagi. Untuk mengerjakan projectku bapak selalu menungguku hingga jam 12 malam untuk membantuku. Sampai aku sampaikan pesan pada Tara, adikku “Tar, tolong suruh bapak isiin. Ayuk mau rapat takut plg malem ntr bapak tidur mending isiin sekarang.”
*Ayuk : kakak dalam bahasa semendo
Melalui Tara, bapak bilang “ayo bapak tungguin Ool selesai rapat.” Benar saja. Pukul 12 malam. Beliau setia menungguku dan membantuku melanjutkan project-ku.
Enam bulan sudah kepergian bapak, 20 tahun sudah aku hidup bersama bapak. Rasanya secepat itu. Aku benar-benar mengerti bahwa waktu benar-benar cepat berjalan.
20 tahun sudah kulewati bersama bapak. Rasanya, belum lengkap jika belum bisa membahagiakan orang tua. Separuh pondasi keluarga kami hilang. Inilah hidup tentang penerimaan dan pelepasan. Tugas kita hanya mempersiapkan apa yang akan kamu jalani dan sesali. Dan menjadikan segalanya pelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar